Wednesday, February 20, 2013

Ayu Utami, 15 Tahun Setelah 'Saman'

Jakarta - Lima belas tahun setelah 'Saman', novel yang femonenal itu, terbit Ayu Utami masih menjadi daya tarik dunia sastra Indonesia. Acara peluncuran novel terbarunya di Salihara, Selasa (19/2/2013) malam terpaksa dipindah dari serambi ke galeri karena pengunjung membludak.

Ayu berdiri di podium, tampak menjulang tinggi dengan celana jins hitam dan baju tanpa lengan dengan warna yang sama. Sinar lampu menyiram wajahnya, dan ia terus melempar senyum. Namun, ketika berbicara, suaranya bergetar, seperti menahan sesuatu.

"Kita tadi telah banyak berbicara tentang ketakutan," ujarnya setelah dua jam diskusi menandai peluncuran bukunya, 'Pengakuan eks Parasit Lajang'. "Yang saya inginkan, perempuan bebas dari rasa itu," sambungnya.

Beberapa kali Ayu seperti kehilangan kata-kata. Diam beberapa saat, lalu berbicara lagi dengan suara yang terus saja bergetar. "Lima belas tahun telah berlalu sejak Saman, sejak reformasi, dan ini adalah momen yang mengharukan," katanya.

"Ya, saya memang sudah menikah. Tapi, hubungan kami seperti Maria dan Joseph...yang tidak bersetubuh lagi," demikian Ayu melanjutkan dengan mencoba menyelipkan kelakar. Tapi, suasana ruangan memang sudah telanjur khidmat. Dan, hening.

Sejak Ayu naik ke podium usai bukunya dibedah oleh dosen filsafat UI Saras Dewi, hadirin seperti menunggu sebuah 'pidato politik' yang menjelaskan tentang perubahan Ayu. Dari seorang perempuan novelis yang mengikrarkan diri tidak menikah, menjadi Ayu yang "akhirnya menikah juga".

Tapi, Ayu berbicara agak meloncat-loncat, dan ia memulai dengan semacam kenangan. "Zaman saya muda, feminis harus tampak maskulin. Sekarang mereka tak takut dengan keperempuanannya, dan itu perubahan yang terjadi," ujarnya.

Ia melanjutkan. "Sepuluh tahun yang lalu, ketika saya bilang pada ibu bahwa saya tak ingin menikah, ibu selalu bilang ke orang-orang, ah dia emang pengennya bebas. Tapi, bebas yang saya inginkan tidaklah seperti yang ibu bayangkan."

Ayu menuturkan, buku 'Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa dan Cerita' yang terbit pertama pada 2003 telah mengilhami banyak perempuan yang oleh berbabai sebab memilih jalan hidup melajang. "Buku itu dipakai banyak orang untuk memperkuat diri ngadepin (tekanan) masyarakat," tuturnya.

Ketika belakangan ternyata Ayu kemudian menikah, ia pun merasa harus mempertanggungjawabkan perubahannya itu kepada orang-orang yang telah menjadikan dirinya inspirasi. "Saya memang telah menikah, tapi sebenarnya saya tidak berubah. KTP saya masih single," lagi-lagi Ayu mencoba mencairkan keheningan yang tegang.

"Saya tidak mengkhianati para lajang. Mudah-mudahan mereka yang merasa telah dikhianati, bisa membaca buku (Pengakuan eks Parasit Lajang) ini dengan komprehensif," harapnya.

"Buku ini saya persembahkan untuk orang-orang yang merasa saya tinggalkan ketika saya akhirnya menikah," sambungnya. "Ini buku yang paling penting dalam hidup saya, karena ini sebuah pengakuan. Bagi saya, seni dan sastra memang adalah upaya mencari estetika untuk kejujuran, sehingga kita bisa memandang kebenaran tanpa rasa takut," tandas Ayu.

(mmu/mmu)

No comments:

Post a Comment